"Puisi yang bagus sekali," desah Pak Marthin, dosen termuda di kampus, sekaligus pembimbing klub Sastra yang aku ikuti sekarang. "Sederhana, namun terdengar menyentuh," ujarnya kagum. Ia tersenyum lebar, menatap ke arahku dari mejanya.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
"Darimana kamu belajar menjiwai setiap membaca puisi?"
Aku menggeleng. "Hanya jatuh cinta, lalu patah hati. Kemudian, saya berpuisi.."
Ia mengernyit, heran. "Harus melalui tahap 'tak mengenakkan' seperti itu?"
Aku mengangkat bahu. "Setidaknya itu yang saya lakukan, Pak."
Ia agak terpukau mendengar penjelasanku, lalu tersenyum lembut. "Jangan terlalu menyimpan patah hati. Sesuatu yang patah atau rusak, bila sudah tak bisa diperbaikin lagi, sebaiknya dibuang saja. Akan selalu ada ganti yang jauh lebih baik.."
Ucapannya dihentikan oleh bunyi ponselnya sendiri. Ia ambil ponselnya yang sudah menggetarkan mejanya dengan hebat, lalu menyahut, dan tawanya yang renyah dan gemas terdengar. "Iya, istriku sayaaangg. Aku hari ini pulang lebih awal."
Suaranya lembut, terdengar begitu pelan Tentu ia tak ingin anak didiknya yang ada di ruangan ini mendengar perkataan mesranya yang ditujukan pada seseorang di sana. Mungkin, ia lupa, dari tempatku berdiri sekarang masih mampu menjangkau frekuensi suaranya. Sekecil apapun itu.
Ia masih saja tertawa renyah di ponselnya, dan sesekali terdengar kembali nada yang cukup mesra.
Aku mengalihkan perhatian mataku pada secarik kertas yang masih kugenggam, yang kini sudah aku lipat-lipat dengan sangat pelan dan dengan asal.
Sepertinya aku harus menulis puisi lagi, betapa sakitnya mencintai seseorang. Lagi-lagi, masih tentang patah hati, dan akan selalu masih tentangmu.
Mataku melirik dosenku yang masih tertawa renyah di kursinya, pada ponselnya.
"Iya, Sayaang.." ujarnya lagi di sela tawanya, dan aku kemudian hanya melangkah gontai dengan begitu pelan menuju kursiku.
Dan kamu, tak akan pernah menyadari, bahwa selalu masih kamu itu adalah... kamu.
0 komentar:
Posting Komentar
Lalu, apa pendapatmu tentang ini? :)