Sabtu, 05 Januari 2013

Kita sangat Berbeda..


Aku hanya bisa memandang kagum dan penuh rasa iri saat kedua kaki jenjangnya yang mulus berjalan melewatiku.

Lalu, kupandang kakiku sendiri yang begitu pendek dan gemuk. Dengan jari-jari yang besar, dan bulu-bulu lebat yang menghiasi kulitku.

Betapa Tuhan tak adil.

Itu adalah apa yang selalu ada di benakku kala melihatnya, Anne, putri majikanku.

Terlahir begitu berbeda, itu lah kami. Rambutnya yang panjang, hitam kemilau,  tergerai indah mempesona. Hidungnya tinggi, dan bola matanya sangat memikat. Satu kata untuknya. Sempurna.

Sedangkan aku hanya memiliki hidung yang sangat pesek dan jelek, tak layak dibanggakan. Rahangku begitu besar, tak seperti Anne yang memiliki rahang kecil membuatnya jadi terlihat manis.

"Beb, sudah lama?" tanyanya manja pada seorang laki-laki yang sedari tadi menunggunya di beranda rumah.
Seakan hidupnya belum cukup sempurna, ia juga memiliki seorang kekasih yang sangat tampan.

Hatiku terasa sesak. Aku tak bisa mungkir, telah jatuh cinta pada kekasih majikanku sendiri sejak pandangan pertama. Kenapa Anne memiliki semua yang tak bisa kumiliki?


"Ivy," Anne menegurku prihatin, sadar aku sedang memperhatikannya. Ia mendekat dan meraihku ke dalam pelukan. Kenapa? Apa ia tahu aku sedang patah hati karenanya?

"Ivy kok diam saja dari tadi? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya cemas. "Kamu lapar? Sebentar ya." Ia meraih sebuah pisang yang ada di dekat sebuah kandang bertuliskan 'Monkey's Home', dan memberikannya padaku.

Sangat berbedanya kami.

Aku hanya bisa memandang kagum dan penuh rasa iri saat kedua kaki jenjangnya yang mulus berjalan melewatiku.

Lalu, kupandang kakiku sendiri yang begitu pendek dan gemuk. Dengan jari-jari yang besar, dan bulu-bulu lebat yang menghiasi kulitku.

Betapa Tuhan tak adil.

Itu adalah apa yang selalu ada di benakku kala melihatnya, Anne, putri majikanku.

Terlahir begitu berbeda, itu lah kami. Rambutnya yang panjang, hitam kemilau,  tergerai indah mempesona. Hidungnya tinggi, dan bola matanya sangat memikat. Satu kata untuknya. Sempurna.

Sedangkan aku hanya memiliki hidung yang sangat pesek dan jelek, tak layak dibanggakan. Rahangku begitu besar, tak seperti Anne yang memiliki rahang kecil membuatnya jadi terlihat manis.

"Beb, sudah lama?" tanyanya manja pada seorang laki-laki yang sedari tadi menunggunya di beranda rumah.
Seakan hidupnya belum cukup sempurna, ia juga memiliki seorang kekasih yang sangat tampan.

Hatiku terasa sesak. Aku tak bisa mungkir, telah jatuh cinta pada kekasih majikanku sendiri sejak pandangan pertama. Kenapa Anne memiliki semua yang tak bisa kumiliki?


"Ivy," Anne menegurku prihatin, sadar aku sedang memperhatikannya. Ia mendekat dan meraihku ke dalam pelukan. Kenapa? Apa ia tahu aku sedang patah hati karenanya?

"Ivy kok diam saja dari tadi? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya cemas. "Kamu lapar? Sebentar ya." Ia meraih sebuah pisang yang ada di dekat sebuah kandang bertuliskan 'Monkey's Home', dan memberikannya padaku.

Sangat berbedanya kami.

Currently reading -> Novel "Zero Class" :D

Lagi baca Novel ”Zero Class”nya Pricillia A.W nih

Ternyata benar  apa yang orang-orang bilang, novel keduanya ini jauuuuhhh lebih baik dari novel perdananya, hehe. Aku pun mengakui itu.

Aku cukup menikmati novel ini, walau sempat bingung juga karena terlalu banyak ‘adegan-adegan’ tambahan yang sebenarnya nggak begitu penting, semacam banyolan-banyolan konyol gitu, dan ocehan-ocehan tidak penting, plus terlalu banyak nama tokoh jadi aku sempat kelimpungan juga mengimajinasikannya di awal-awal hehe. Maklum, otak JONGKOK, agak sulit nerima banyak asupan .

Dan terlalu banyak misteri bertubi-tubi yang membentuk sejuta pertanyaanku (dan Gita), yang satu pun belum terkuak, atau masih samar-samar. Sama kayak Gita, aku rasanya puyeng dan mau gila ngikutin kasus perkasus hehe. Tapi bagus, sih, mengundang banyak misteri.

 Zero Class ini mengingatkanku pada kelas IPA1 yang dulu aku tempati semasa SMA hehe. Rasa-rasanya sih nyaris mirip walau tidak sama. Maksudku, setidaknya kelasku tidak sebobrok itu, dan tidak mengalami diskriminasi separah itu :p

Kelas IPA 1 yang aku tempati selama dua tahun itu, sejak kelas dua hingga kelas tiga (karena tidak mengalami perubahan kelas), di sekolah kami dipandang sebagai kelas ‘IPS 3’ oleh guru-guru dan murid-murid kelas lain. Bahkan julukan ini menyebar hingga ke Senior dan Junior. Semua tahu bagaimana repustasi IPA 1 yang disebut sebagai ‘IPS 3’ (bukan Zero Class, hehe).

Kenapa disebut IPS3? Karena kelakuan kami, yang seakan-akan kumpulan anak-anak IPA terbuang. Dianggap menyamai perilaku anak IPS oleh guru-guru di sekolah hingga selalu disebut “IPS 3”.

Beda dengan Zero Class, kami memang tidak dijauhi atau disinisi. Semua warga sekolah berhubungan baik dan normal-normal aja ke kami :p, tapi tetap ada sisi pandangan lain pada kelas kami ini hehehe.

Dan kami juga bukan kalangan orang-orang kere secara mayoritas ya, dan tidak ada permasalahan antar KUBU juga seperti Nathan dan Radit, hehe.

Tapi, tetap saja, membaca novel Zero Class ini kembali mengingatkanku pada masa SMA. Kurang lebih dalam beberapa hal ‘kami’ begitu mirip.

Lagi baca Novel ”Zero Class”nya Pricillia A.W nih

Ternyata benar  apa yang orang-orang bilang, novel keduanya ini jauuuuhhh lebih baik dari novel perdananya, hehe. Aku pun mengakui itu.

Aku cukup menikmati novel ini, walau sempat bingung juga karena terlalu banyak ‘adegan-adegan’ tambahan yang sebenarnya nggak begitu penting, semacam banyolan-banyolan konyol gitu, dan ocehan-ocehan tidak penting, plus terlalu banyak nama tokoh jadi aku sempat kelimpungan juga mengimajinasikannya di awal-awal hehe. Maklum, otak JONGKOK, agak sulit nerima banyak asupan .

Dan terlalu banyak misteri bertubi-tubi yang membentuk sejuta pertanyaanku (dan Gita), yang satu pun belum terkuak, atau masih samar-samar. Sama kayak Gita, aku rasanya puyeng dan mau gila ngikutin kasus perkasus hehe. Tapi bagus, sih, mengundang banyak misteri.

 Zero Class ini mengingatkanku pada kelas IPA1 yang dulu aku tempati semasa SMA hehe. Rasa-rasanya sih nyaris mirip walau tidak sama. Maksudku, setidaknya kelasku tidak sebobrok itu, dan tidak mengalami diskriminasi separah itu :p

Kelas IPA 1 yang aku tempati selama dua tahun itu, sejak kelas dua hingga kelas tiga (karena tidak mengalami perubahan kelas), di sekolah kami dipandang sebagai kelas ‘IPS 3’ oleh guru-guru dan murid-murid kelas lain. Bahkan julukan ini menyebar hingga ke Senior dan Junior. Semua tahu bagaimana repustasi IPA 1 yang disebut sebagai ‘IPS 3’ (bukan Zero Class, hehe).

Kenapa disebut IPS3? Karena kelakuan kami, yang seakan-akan kumpulan anak-anak IPA terbuang. Dianggap menyamai perilaku anak IPS oleh guru-guru di sekolah hingga selalu disebut “IPS 3”.

Beda dengan Zero Class, kami memang tidak dijauhi atau disinisi. Semua warga sekolah berhubungan baik dan normal-normal aja ke kami :p, tapi tetap ada sisi pandangan lain pada kelas kami ini hehehe.

Dan kami juga bukan kalangan orang-orang kere secara mayoritas ya, dan tidak ada permasalahan antar KUBU juga seperti Nathan dan Radit, hehe.

Tapi, tetap saja, membaca novel Zero Class ini kembali mengingatkanku pada masa SMA. Kurang lebih dalam beberapa hal ‘kami’ begitu mirip.

 
Miss's WORLD! Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template