Rabu, 16 Juni 2010

[KS] How we Met

          Lagi-lagi laki-laki ini mengambil tempat duduk tepat di kursi yang ada di hadapanku. Kenapa dari sekian banyak kursi kosong di perpustakaan ini, ia lebih memilih duduk di kursi yang ada tepat di hadapanku sekarang ini?
            Aku mengangkat sedikit buku yang kubaca, menutupi wajahku, agar aku bisa mengintipnya dengan bebas tanpa sepengetahuannya. Seperti biasa, ia tak banyak bicara. Ia datang ke kursi itu dengan membawa sebuah buku tebal, lalu menarik kursi sambil bertanya padaku, “Boleh aku duduk di sini?” dengan tanpa ekspresi.
Tentu saja aku mengangguk dan mempersilahkannya, karena perpustakaan ini bahkan bukan lah milik nenek moyangku yang bisa membuatku mempunyai hak untuk melarangnya. Ia bebas duduk dimana pun yang ia suka. Hanya saja, satu pertanyaanku. Kenapa harus selalu di kursi itu?
            Oke, jujur saja awalnya aku sempat ada rasa GR, gede rasa. Aku sempat berpikir bahwa laki-laki ini mungkin saja menyukaiku sejak pandangan pertama dan bermaksud mencuri perhatianku. Tetapi, aku tahu alasannya bukan itu, dan sepertinya ia juga sama sekali tidak tertarik padaku. Beberapa hari lalu, aku pernah mencoba untuk duduk di kursi yang berbeda. Aku hanya ingin memastikan, kalau ia benar sedang ingin mencuri perhatianku, tentu akan mengikutiku berpindah tempat duduk. Namun, ia ternyata tak terpengaruh. Dengan adanya aku, atau tanpa aku, ia tetap duduk di kursi itu. Kursi yang sama, yang ada di hadapanku ini.
            Satu lagi. Selama ini ia juga tak pernah terlihat sedang menatapku. Kalau ia memang tertarik padaku kan, semestinya ia akan mencuri pandang beberapa kali. Tapi, selama ini, aku tak pernah melihatnya melakukan kegiatan apapun selain membaca buku. Seakan seluruh pikirannya hanya tercurah pada buku apapun yang sedang dibacanya.
            Aku memilih duduk di kursi ini, di paling sudut dalam perpustakaan dan dekat jendela, karena beberapa alasan. Aku senang duduk di tempat paling ujung yang agak terpencil, karena terkesan menyendiri. Dan aku memang senang sendiri, menikmati bacaanku sambil menikmati angin malam yang menerpaku dari jendela. Iya, poin terakhir itu juga yang membuatku memilih duduk di kursi ini, karena hanya di sini lah tempat strategis yang juga dekat dengan jendela. Selain itu, aku bisa sesekali memandang ke langit gelap, saat dimana ada bintang-bintang kecil yang bersinar cantik di sana. Itu tak akan membuatku jenuh atau bosan. Menurutku, bintang hanya terlihat indah saat di musim panas, itu kenapa musim ini selalu yang paling kutunggu-tunggu setiap tahunnya. Dan, mungkin saja laki-laki ini juga beralasan yang sama denganku, hingga selalu saja duduk di kursi yang sama.
            Laki-laki yang tidak kuketahui namanya ini, selalu serius saat membaca. Lihat saja, ia bahkan tak sadar bahwa aku, perempuan yang duduk di hadapannya sedang menatapnya terang-terangan. Seakan tak terganggu, atau bahkan mungkin sama sekali tak menyadari, pandangannya tetap fokus pada sederet tulisan di bukunya.
Perlahan ia membalik halaman buku itu, dan melanjutkan membaca, masih dengan tampang yang serius.  Saat sedang serius pun, wajahnya tetap terlihat datar. Hanya pandangan matanya yang bisa membuatku menerka bahwa ia sedang begitu fokus pada apa yang sedang dilakukannya.
==
            Aku mendongakkan wajah, mengalihkan perhatian dari buku di mejaku ke arah laki-laki yang kini sudah menarik kursi di hadapanku. “Boleh aku duduk di sini?” tanya laki-laki itu. Sederet kalimat yang sudah sangat kuhapal.
            Aku mengangguk pelan. Oh, nee (oh, iya) .. silahkan.
            Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki itu duduk dan sedetik kemudian sudah tenggelam dalam buku bacaannya. Aku menarik napas tanpa sadar, dan kembali menikmati wajah tenang di hadapanku ini. Kali ini aku memberanikan diri memperhatikannya lebih jelas, karena aku yakin, pergerakan seperti apapun yang kulakukan tak akan mempengaruhinya. Seakan ia telah hanyut bersama bukunya.
            Selain memiliki alis yang sangat tebal, laki-laki ini punya mata yang besar. Untuk ukuran pria korea, ia memiliki mata yang cantik dan indah, mata idaman semua orang korea yang mayoritas memiliki mata kecil-sipit. Aku yakin, pusat ketampanannya itu terletak di matanya, walau tak memungkiri, bagian-bagian wajahnya yang lain pun sempurna tanpa cela. Hidungnya tinggi, dan garis-garis wajahnya begitu tegas seakan ingin lebih memperjelas ketampanannya. Aku yakin, saat menciptakan makhluk yang satu ini, pasti Tuhan sedang dalam mood yang sangat baik.
            Omong-omong, belakangan ini aku baru menyadari sesuatu. Aku selalu datang lebih cepat darinya, dan ia selalu pulang lebih lama dariku. Terakhir kali, aku pulang jam 11 malam, dan ia masih saja terlihat betah berkutat dengan bukunya. Aku tak tahu jam berapa sebenarnya ia pulang, karena perpustakaan ini memang buka 24 jam. Sedangkan aku, selalu datang jam 6 sore, tepat sepulang sekolah dan akan pulang biasanya jam 10 malam, karena itu adalah batas jam malam yang bisa ditoleransi oleh orang tuaku. Pernah sekali aku pulang jam 11 malam, karena mengerjakan tugas. Tapi, pulang selarut itu sangat jarang terjadi.
==
            Kali ini, malam ini, aku langsung mendongak saat samar-samar aku merasa mendengar suara langkah kaki. Aneh, langkah kaki itu sebenarnya sangat pelan dan tidak mengeluarkan bunyi, tapi radar di telingaku langsung bisa menangkapnya, bahkan sebelum ia tiba di dekatku.
            Kedua kaki itu berhenti di dekat mejaku, dan pemiliknya menarik kursi di hadapanku, seperti biasa. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya, masih dengan ekspresi yang sama, dan nada suara yang sama.
            Dan aku, lagi-lagi memasang ekspresi yang sama, menatapnya polos, dan mengangguk. “Nee.. silahkan,” jawabku pelan. Memangnya jawaban apa lagi yang bisa kuucapkan selain dua kata itu?
            Dan waktu pun berlangsung dengan hening, dengan posisi yang selalu sama. Ia yang serius menekuni bukunya, dan aku yang sesekali mencuri pandang ke arahnya dan menemukan hal-hal baru untuk kuperhatikan.
            Laki-laki ini sangat tinggi. Sebenarnya, aku sudah menyadarinya sejak awal, hanya saja aku tidak menyangka ia setinggi itu. Saat tadi ia berdiri di pinggir meja, aku baru sadar tinggi meja hanya sepinggangnya. Sedangkan aku? Tinggi meja itu tepat nyaris mendekati dadaku, agak ke bawah sedikit. Kalau mengingat betapa pendeknya aku, itu sangat menyebalkan. Aku mendengus kesal, tanpa kusadari, dan laki-laki itu mendongakkan wajahnya menatapku.
            Astaga, mungkin dengusanku terdengar olehnya! Aku segera pura-pura membolik-balik halaman buku yang kupegang dan memasang ekspresi seakan sedang membacanya dengan sangat serius, sambil sebelah tanganku yang bebas menyisipkan rambut ikal kecokelatanku yang terjuntai di pipi ke belakang telinga. Begitu kupastikan ia telah tenggelam lagi ke dalam bukunya melalui sudut mata, aku mencoba mengangkat kepala. Dan ia memang sudah tak lagi menatapku. Aku diam-diam menghela napas lega.
            Ya ampun, lihat lah, dengan mata besar dan indahnya yang tadi sempat menatapku, serta garis wajah yang mempertegas kegagahannya, ditunjang dengan tubuhnya yang sangat tinggi dan tegap, dan tentu saja cukup berotot membentuk tubuhnya, rasanya sebagai pria idaman, laki-laki ini  sudah sangat memenuhi syarat.
==
            Aku menghembuskan napas panjang dan menggembungkan pipi saat membolak-balik buku tebal di hadapanku. Buku sejarah, buku yang sebenarnya paling malas kubaca. Aku tidak suka mempelajari sejarah, karena aku tak ahli menghapal setiap nama, tempat, kejadian, tanggal dan tahun yang katanya penting itu.
            Samar-samar aku merasa ada yang mendorong pintu perpustakaan dengan sangat- hati-hati. Aku menduga sesuatu, dan segera mendongakkan kepala. Astaga, aku nyaris memekik girang saat dugaanku benar. Laki-laki itu yang datang, dan kini sedang menyusuri sebuah rak, mencari sesuatu, yang tentunya adalah buku untuk dibaca malam ini.
            Gila! Aku sekarang merasa benar-benar yakin kalau aku telah diberikan kemampuan kepekaan lebih oleh Tuhan. Laki-laki itu mendorong pintu tanpa bunyi sedikit pun, dan melangkah dengan sangat pelan, tapi radar di telinga dan mataku sepertinya sudah terlalu kuat bila menyangkut makhluk yang satu ini.
            Setelah mendapatkan buku yang mungkin dinginkan, laki-laki itu segera berjalan pelan menujuku. Bukan, tepatnya menuju kursi yang sudah menjadi seperti singasana kebesarannya itu. Iya, kursi yang ada di hadapanku. Tangannya yang kiri berayun menenteng sebuah buku tebal, seiring dengan langkahnya.
Hari ini ia mengenakan sebuah kemeja kotak-kotak warna biru, dengan dalaman kaos tipis berwarna putih, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sepertinya ini adalah style favoritnya di musim panas. Dan ia tak pernah sekalipun mengancingkan kemejanya, membiarkan terbuka begitu saja. Tapi, entah kenapa itu justru membuatku merasa tak akan lagi menemukan laki-laki tampan selain ia.
Aduh, aku tak tahu, deh! Sepertinya dunia sedang berkonspiransi untuk menjebakku dalam pesonanya, dan menyukai segala tentangnya. Aku dibuat mabuk!!
            “Boleh aku duduk di sini?” suara bassnya membuyarkan segala pikiranku, dan aku segera mengangguk bersamaan dengan tangannya yang menarik keluar kursi itu dari bawah meja.
            Nee… silahkan.” Aku menggumam pelan, lalu kemudian pura-pura sibuk dengan tugas sekolah.
            Seperti biasa setelahnya waktu berlangsung dengan sangat hening. Hei, kami sudah sering duduk semeja, dan itu setiap hari, dalam beberapa minggu ini. Sudah sangat sering duduk bersama, selalu berhadapan, tapi saling tak mengenal dan tak pernah bicara selain mengucapkan satu ‘tanya’ dan satu ‘jawaban’ yang kami lakukan setiap ia akan duduk, bukan kah itu agak terasa sedikit aneh dan canggung?
            Apa selamanya kita hanya akan sebatas ‘Boleh aku duduk di sini?’ dan Nee.. silahkan’ ? keluhku dalam hati.
==
            Aku mendorong pintu perpustakaan dengan agak malas. Sekilas aku melihat ke langit yang sudah gelap. Tentu saja, sekarang sudah jam 7 malam lewat. Gara-gara tugas sejarah yang tak bisa kuselesaikan dengan baik, aku mendapat hukuman untuk menyelesaikannya dengan bimbingan guruku. Lee Mi Seon-ssi, ibu guru sejarahku, beliau benar-benar tak meluputkanku dari sorot mata tajamnya saat mengawasiku mengerjakan tugas.
             “Seo Hyunnie,” panggil seorang gadis muda, yang lebih tua dua tahun dariku. Aku tersenyum ke arahnya yang sedang duduk di depan sebuah komputer yang ada di dekat pintu masuk. Ia adalah salah satu penjaga perpustakaan yang sudah kukenal baik. Namanya, Han Hyun Mi.
            “Ah..annyeong, Onnie.. (hai, kak),” sapaku seraya sedikit membungkukkan badan sebelum akhirnya menghampirinya.
            Hyun Mi onnie tersenyum padaku dan bertanya menggoda. “Tidak biasanya kau baru datang jam segini, Hyunnie-ya. Aku pikir kau tidak akan datang malam ini.”
            Aku meringis, lalu nyengir. “Nee..onnie, ada banyak tugas di sekolah. Jadi, pulangnya agak telat.”
            Hyun Mi onnie menganggukkan kepala paham, dan aku segera pamit untuk pergi ke kursi kesayanganku, di sudut perpus. Ah.. si laki-laki itu sudah ada di sana, sedang menunduk serius membaca bukunya. Dengan langkah agak pelan, aku berjalan ke arah meja itu, dan dengan sangat hati-hati aku menarik kursi yang ada di hadapannya.
            Mendengar suara kursi berderit, laki-laki itu mendongak, dan langsung menatapku. Aku buru-buru nyengir, takut ia merasa terganggu.
            A.. annyeong haseyo..” sapaku pelan, memasang senyum yang sepertinya lebih terlihat seperti meringis.
            “Tidak biasanya kau baru datang jam segini?” Pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan Hyun Mi onnie, tapi tetap saja membuatku membelalak kaget menatap laki-laki itu. Ia mengajakku bicara?? Apa aku tidak salah dengar??
Sementara ia mengangkat alisnya, bingung, dan sepertinya menunggu jawabanku. Aku sedikit tergagap.
            “Ah…ng..” Aku membuka, dan menutup mulut berkali-kali tanpa kusadari sebelum akhirnya benar-benar bisa mengontrol diri. Aku memukul pelan pahaku di balik meja, menyadarkan diri sendiri agar fokus. “N-nee.. (i-iya), aku ada tugas di sekolah. Jadi, baru pulang jam segini..”
            Ia mengangguk-angguk pelan mendengar jawabanku. “Han Seo Hyun..” gumamnya pelan membuatku kembali kaget dan tanpa sadar membulatkan mata, menatapnya bingung. Ia menyebut namaku? Memanggilku?
            Ia tersenyum. Dagunya mengendik sedikit ke arah bajuku. Kuikuti arahnya, dan itu mengarah pada seragamku, tepatnya di dada kananku. Kalau saja aku baru pertama kali mengenalnya, mungkin aku akan mengira ia sedang berlaku tak senonoh. Tapi, aku tahu, yang ia maksud adalah tag name ku yang terpasang di sana. Han Seo Hyun.
            Aku tersenyum, walau awalnya agak kikuk. Ahh.. Seo Hyun pabbo (Ahh.. Seo Hyun bodoh), makiku pada diri sendiri. Apa yang bisa kau lakukan hanya senyum-senyum kikuk seperti orang bodoh, eo? gerutuku lagi pada diriku sendiri.
            Laki-laki itu tersenyum lagi, dan menutup bukunya. Lalu ia mengulurkan tangan, yang sukses kembali membuatku bengong, dengan mata membeliak. Astaga, malam ini, sebenarnya mau berapa kali lagi ia membuatku terkejut, melakukan hal-hal yang di luar dugaanku? Kalau hal ini terjadi terus berulang kali, rasanya jantungku tak akan terselamatkan, dan mungkin malam ini malam terakhirku bernapas dengan baik.
            Oke, aku berlebihan, aku tahu.
            “Choi Minho imnida (nama saya Choi Minho),” ujarnya seraya tersenyum, senyuman yang terlihat manis, karena senyum lebar pertama yang kulihat dibibirnya.
            Oh, apa tadi katanya? Ia menyebutkan nama? Choi Minho. Apa ini awal dari perkenalan kita? Menuju hubungan ke tingkat yang lebih? Mungkin saja. Aku mengulurkan tangan, menyambutnya sambil tersenyum. Kali ini aku cukup percaya diri.
            Han Seo Hyun imnida, bangapseumnida (Nama saya Han Seo Hyun, senang berkenalan denganmu).”

THE END
          Lagi-lagi laki-laki ini mengambil tempat duduk tepat di kursi yang ada di hadapanku. Kenapa dari sekian banyak kursi kosong di perpustakaan ini, ia lebih memilih duduk di kursi yang ada tepat di hadapanku sekarang ini?
            Aku mengangkat sedikit buku yang kubaca, menutupi wajahku, agar aku bisa mengintipnya dengan bebas tanpa sepengetahuannya. Seperti biasa, ia tak banyak bicara. Ia datang ke kursi itu dengan membawa sebuah buku tebal, lalu menarik kursi sambil bertanya padaku, “Boleh aku duduk di sini?” dengan tanpa ekspresi.
Tentu saja aku mengangguk dan mempersilahkannya, karena perpustakaan ini bahkan bukan lah milik nenek moyangku yang bisa membuatku mempunyai hak untuk melarangnya. Ia bebas duduk dimana pun yang ia suka. Hanya saja, satu pertanyaanku. Kenapa harus selalu di kursi itu?
            Oke, jujur saja awalnya aku sempat ada rasa GR, gede rasa. Aku sempat berpikir bahwa laki-laki ini mungkin saja menyukaiku sejak pandangan pertama dan bermaksud mencuri perhatianku. Tetapi, aku tahu alasannya bukan itu, dan sepertinya ia juga sama sekali tidak tertarik padaku. Beberapa hari lalu, aku pernah mencoba untuk duduk di kursi yang berbeda. Aku hanya ingin memastikan, kalau ia benar sedang ingin mencuri perhatianku, tentu akan mengikutiku berpindah tempat duduk. Namun, ia ternyata tak terpengaruh. Dengan adanya aku, atau tanpa aku, ia tetap duduk di kursi itu. Kursi yang sama, yang ada di hadapanku ini.
            Satu lagi. Selama ini ia juga tak pernah terlihat sedang menatapku. Kalau ia memang tertarik padaku kan, semestinya ia akan mencuri pandang beberapa kali. Tapi, selama ini, aku tak pernah melihatnya melakukan kegiatan apapun selain membaca buku. Seakan seluruh pikirannya hanya tercurah pada buku apapun yang sedang dibacanya.
            Aku memilih duduk di kursi ini, di paling sudut dalam perpustakaan dan dekat jendela, karena beberapa alasan. Aku senang duduk di tempat paling ujung yang agak terpencil, karena terkesan menyendiri. Dan aku memang senang sendiri, menikmati bacaanku sambil menikmati angin malam yang menerpaku dari jendela. Iya, poin terakhir itu juga yang membuatku memilih duduk di kursi ini, karena hanya di sini lah tempat strategis yang juga dekat dengan jendela. Selain itu, aku bisa sesekali memandang ke langit gelap, saat dimana ada bintang-bintang kecil yang bersinar cantik di sana. Itu tak akan membuatku jenuh atau bosan. Menurutku, bintang hanya terlihat indah saat di musim panas, itu kenapa musim ini selalu yang paling kutunggu-tunggu setiap tahunnya. Dan, mungkin saja laki-laki ini juga beralasan yang sama denganku, hingga selalu saja duduk di kursi yang sama.
            Laki-laki yang tidak kuketahui namanya ini, selalu serius saat membaca. Lihat saja, ia bahkan tak sadar bahwa aku, perempuan yang duduk di hadapannya sedang menatapnya terang-terangan. Seakan tak terganggu, atau bahkan mungkin sama sekali tak menyadari, pandangannya tetap fokus pada sederet tulisan di bukunya.
Perlahan ia membalik halaman buku itu, dan melanjutkan membaca, masih dengan tampang yang serius.  Saat sedang serius pun, wajahnya tetap terlihat datar. Hanya pandangan matanya yang bisa membuatku menerka bahwa ia sedang begitu fokus pada apa yang sedang dilakukannya.
==
            Aku mendongakkan wajah, mengalihkan perhatian dari buku di mejaku ke arah laki-laki yang kini sudah menarik kursi di hadapanku. “Boleh aku duduk di sini?” tanya laki-laki itu. Sederet kalimat yang sudah sangat kuhapal.
            Aku mengangguk pelan. Oh, nee (oh, iya) .. silahkan.
            Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki itu duduk dan sedetik kemudian sudah tenggelam dalam buku bacaannya. Aku menarik napas tanpa sadar, dan kembali menikmati wajah tenang di hadapanku ini. Kali ini aku memberanikan diri memperhatikannya lebih jelas, karena aku yakin, pergerakan seperti apapun yang kulakukan tak akan mempengaruhinya. Seakan ia telah hanyut bersama bukunya.
            Selain memiliki alis yang sangat tebal, laki-laki ini punya mata yang besar. Untuk ukuran pria korea, ia memiliki mata yang cantik dan indah, mata idaman semua orang korea yang mayoritas memiliki mata kecil-sipit. Aku yakin, pusat ketampanannya itu terletak di matanya, walau tak memungkiri, bagian-bagian wajahnya yang lain pun sempurna tanpa cela. Hidungnya tinggi, dan garis-garis wajahnya begitu tegas seakan ingin lebih memperjelas ketampanannya. Aku yakin, saat menciptakan makhluk yang satu ini, pasti Tuhan sedang dalam mood yang sangat baik.
            Omong-omong, belakangan ini aku baru menyadari sesuatu. Aku selalu datang lebih cepat darinya, dan ia selalu pulang lebih lama dariku. Terakhir kali, aku pulang jam 11 malam, dan ia masih saja terlihat betah berkutat dengan bukunya. Aku tak tahu jam berapa sebenarnya ia pulang, karena perpustakaan ini memang buka 24 jam. Sedangkan aku, selalu datang jam 6 sore, tepat sepulang sekolah dan akan pulang biasanya jam 10 malam, karena itu adalah batas jam malam yang bisa ditoleransi oleh orang tuaku. Pernah sekali aku pulang jam 11 malam, karena mengerjakan tugas. Tapi, pulang selarut itu sangat jarang terjadi.
==
            Kali ini, malam ini, aku langsung mendongak saat samar-samar aku merasa mendengar suara langkah kaki. Aneh, langkah kaki itu sebenarnya sangat pelan dan tidak mengeluarkan bunyi, tapi radar di telingaku langsung bisa menangkapnya, bahkan sebelum ia tiba di dekatku.
            Kedua kaki itu berhenti di dekat mejaku, dan pemiliknya menarik kursi di hadapanku, seperti biasa. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya, masih dengan ekspresi yang sama, dan nada suara yang sama.
            Dan aku, lagi-lagi memasang ekspresi yang sama, menatapnya polos, dan mengangguk. “Nee.. silahkan,” jawabku pelan. Memangnya jawaban apa lagi yang bisa kuucapkan selain dua kata itu?
            Dan waktu pun berlangsung dengan hening, dengan posisi yang selalu sama. Ia yang serius menekuni bukunya, dan aku yang sesekali mencuri pandang ke arahnya dan menemukan hal-hal baru untuk kuperhatikan.
            Laki-laki ini sangat tinggi. Sebenarnya, aku sudah menyadarinya sejak awal, hanya saja aku tidak menyangka ia setinggi itu. Saat tadi ia berdiri di pinggir meja, aku baru sadar tinggi meja hanya sepinggangnya. Sedangkan aku? Tinggi meja itu tepat nyaris mendekati dadaku, agak ke bawah sedikit. Kalau mengingat betapa pendeknya aku, itu sangat menyebalkan. Aku mendengus kesal, tanpa kusadari, dan laki-laki itu mendongakkan wajahnya menatapku.
            Astaga, mungkin dengusanku terdengar olehnya! Aku segera pura-pura membolik-balik halaman buku yang kupegang dan memasang ekspresi seakan sedang membacanya dengan sangat serius, sambil sebelah tanganku yang bebas menyisipkan rambut ikal kecokelatanku yang terjuntai di pipi ke belakang telinga. Begitu kupastikan ia telah tenggelam lagi ke dalam bukunya melalui sudut mata, aku mencoba mengangkat kepala. Dan ia memang sudah tak lagi menatapku. Aku diam-diam menghela napas lega.
            Ya ampun, lihat lah, dengan mata besar dan indahnya yang tadi sempat menatapku, serta garis wajah yang mempertegas kegagahannya, ditunjang dengan tubuhnya yang sangat tinggi dan tegap, dan tentu saja cukup berotot membentuk tubuhnya, rasanya sebagai pria idaman, laki-laki ini  sudah sangat memenuhi syarat.
==
            Aku menghembuskan napas panjang dan menggembungkan pipi saat membolak-balik buku tebal di hadapanku. Buku sejarah, buku yang sebenarnya paling malas kubaca. Aku tidak suka mempelajari sejarah, karena aku tak ahli menghapal setiap nama, tempat, kejadian, tanggal dan tahun yang katanya penting itu.
            Samar-samar aku merasa ada yang mendorong pintu perpustakaan dengan sangat- hati-hati. Aku menduga sesuatu, dan segera mendongakkan kepala. Astaga, aku nyaris memekik girang saat dugaanku benar. Laki-laki itu yang datang, dan kini sedang menyusuri sebuah rak, mencari sesuatu, yang tentunya adalah buku untuk dibaca malam ini.
            Gila! Aku sekarang merasa benar-benar yakin kalau aku telah diberikan kemampuan kepekaan lebih oleh Tuhan. Laki-laki itu mendorong pintu tanpa bunyi sedikit pun, dan melangkah dengan sangat pelan, tapi radar di telinga dan mataku sepertinya sudah terlalu kuat bila menyangkut makhluk yang satu ini.
            Setelah mendapatkan buku yang mungkin dinginkan, laki-laki itu segera berjalan pelan menujuku. Bukan, tepatnya menuju kursi yang sudah menjadi seperti singasana kebesarannya itu. Iya, kursi yang ada di hadapanku. Tangannya yang kiri berayun menenteng sebuah buku tebal, seiring dengan langkahnya.
Hari ini ia mengenakan sebuah kemeja kotak-kotak warna biru, dengan dalaman kaos tipis berwarna putih, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sepertinya ini adalah style favoritnya di musim panas. Dan ia tak pernah sekalipun mengancingkan kemejanya, membiarkan terbuka begitu saja. Tapi, entah kenapa itu justru membuatku merasa tak akan lagi menemukan laki-laki tampan selain ia.
Aduh, aku tak tahu, deh! Sepertinya dunia sedang berkonspiransi untuk menjebakku dalam pesonanya, dan menyukai segala tentangnya. Aku dibuat mabuk!!
            “Boleh aku duduk di sini?” suara bassnya membuyarkan segala pikiranku, dan aku segera mengangguk bersamaan dengan tangannya yang menarik keluar kursi itu dari bawah meja.
            Nee… silahkan.” Aku menggumam pelan, lalu kemudian pura-pura sibuk dengan tugas sekolah.
            Seperti biasa setelahnya waktu berlangsung dengan sangat hening. Hei, kami sudah sering duduk semeja, dan itu setiap hari, dalam beberapa minggu ini. Sudah sangat sering duduk bersama, selalu berhadapan, tapi saling tak mengenal dan tak pernah bicara selain mengucapkan satu ‘tanya’ dan satu ‘jawaban’ yang kami lakukan setiap ia akan duduk, bukan kah itu agak terasa sedikit aneh dan canggung?
            Apa selamanya kita hanya akan sebatas ‘Boleh aku duduk di sini?’ dan Nee.. silahkan’ ? keluhku dalam hati.
==
            Aku mendorong pintu perpustakaan dengan agak malas. Sekilas aku melihat ke langit yang sudah gelap. Tentu saja, sekarang sudah jam 7 malam lewat. Gara-gara tugas sejarah yang tak bisa kuselesaikan dengan baik, aku mendapat hukuman untuk menyelesaikannya dengan bimbingan guruku. Lee Mi Seon-ssi, ibu guru sejarahku, beliau benar-benar tak meluputkanku dari sorot mata tajamnya saat mengawasiku mengerjakan tugas.
             “Seo Hyunnie,” panggil seorang gadis muda, yang lebih tua dua tahun dariku. Aku tersenyum ke arahnya yang sedang duduk di depan sebuah komputer yang ada di dekat pintu masuk. Ia adalah salah satu penjaga perpustakaan yang sudah kukenal baik. Namanya, Han Hyun Mi.
            “Ah..annyeong, Onnie.. (hai, kak),” sapaku seraya sedikit membungkukkan badan sebelum akhirnya menghampirinya.
            Hyun Mi onnie tersenyum padaku dan bertanya menggoda. “Tidak biasanya kau baru datang jam segini, Hyunnie-ya. Aku pikir kau tidak akan datang malam ini.”
            Aku meringis, lalu nyengir. “Nee..onnie, ada banyak tugas di sekolah. Jadi, pulangnya agak telat.”
            Hyun Mi onnie menganggukkan kepala paham, dan aku segera pamit untuk pergi ke kursi kesayanganku, di sudut perpus. Ah.. si laki-laki itu sudah ada di sana, sedang menunduk serius membaca bukunya. Dengan langkah agak pelan, aku berjalan ke arah meja itu, dan dengan sangat hati-hati aku menarik kursi yang ada di hadapannya.
            Mendengar suara kursi berderit, laki-laki itu mendongak, dan langsung menatapku. Aku buru-buru nyengir, takut ia merasa terganggu.
            A.. annyeong haseyo..” sapaku pelan, memasang senyum yang sepertinya lebih terlihat seperti meringis.
            “Tidak biasanya kau baru datang jam segini?” Pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan Hyun Mi onnie, tapi tetap saja membuatku membelalak kaget menatap laki-laki itu. Ia mengajakku bicara?? Apa aku tidak salah dengar??
Sementara ia mengangkat alisnya, bingung, dan sepertinya menunggu jawabanku. Aku sedikit tergagap.
            “Ah…ng..” Aku membuka, dan menutup mulut berkali-kali tanpa kusadari sebelum akhirnya benar-benar bisa mengontrol diri. Aku memukul pelan pahaku di balik meja, menyadarkan diri sendiri agar fokus. “N-nee.. (i-iya), aku ada tugas di sekolah. Jadi, baru pulang jam segini..”
            Ia mengangguk-angguk pelan mendengar jawabanku. “Han Seo Hyun..” gumamnya pelan membuatku kembali kaget dan tanpa sadar membulatkan mata, menatapnya bingung. Ia menyebut namaku? Memanggilku?
            Ia tersenyum. Dagunya mengendik sedikit ke arah bajuku. Kuikuti arahnya, dan itu mengarah pada seragamku, tepatnya di dada kananku. Kalau saja aku baru pertama kali mengenalnya, mungkin aku akan mengira ia sedang berlaku tak senonoh. Tapi, aku tahu, yang ia maksud adalah tag name ku yang terpasang di sana. Han Seo Hyun.
            Aku tersenyum, walau awalnya agak kikuk. Ahh.. Seo Hyun pabbo (Ahh.. Seo Hyun bodoh), makiku pada diri sendiri. Apa yang bisa kau lakukan hanya senyum-senyum kikuk seperti orang bodoh, eo? gerutuku lagi pada diriku sendiri.
            Laki-laki itu tersenyum lagi, dan menutup bukunya. Lalu ia mengulurkan tangan, yang sukses kembali membuatku bengong, dengan mata membeliak. Astaga, malam ini, sebenarnya mau berapa kali lagi ia membuatku terkejut, melakukan hal-hal yang di luar dugaanku? Kalau hal ini terjadi terus berulang kali, rasanya jantungku tak akan terselamatkan, dan mungkin malam ini malam terakhirku bernapas dengan baik.
            Oke, aku berlebihan, aku tahu.
            “Choi Minho imnida (nama saya Choi Minho),” ujarnya seraya tersenyum, senyuman yang terlihat manis, karena senyum lebar pertama yang kulihat dibibirnya.
            Oh, apa tadi katanya? Ia menyebutkan nama? Choi Minho. Apa ini awal dari perkenalan kita? Menuju hubungan ke tingkat yang lebih? Mungkin saja. Aku mengulurkan tangan, menyambutnya sambil tersenyum. Kali ini aku cukup percaya diri.
            Han Seo Hyun imnida, bangapseumnida (Nama saya Han Seo Hyun, senang berkenalan denganmu).”

THE END
 
Miss's WORLD! Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template