Lagi-lagi
laki-laki ini mengambil tempat duduk tepat di kursi yang ada di hadapanku.
Kenapa dari sekian banyak kursi kosong di perpustakaan ini, ia lebih memilih duduk
di kursi yang ada tepat di hadapanku sekarang ini?
Aku mengangkat sedikit buku yang
kubaca, menutupi wajahku, agar aku bisa mengintipnya dengan bebas tanpa
sepengetahuannya. Seperti biasa, ia tak banyak bicara. Ia datang ke kursi itu
dengan membawa sebuah buku tebal, lalu menarik kursi sambil bertanya padaku,
“Boleh aku duduk di sini?” dengan tanpa ekspresi.
Tentu
saja aku mengangguk dan mempersilahkannya, karena perpustakaan ini bahkan bukan
lah milik nenek moyangku yang bisa membuatku mempunyai hak untuk melarangnya.
Ia bebas duduk dimana pun yang ia suka. Hanya saja, satu pertanyaanku. Kenapa
harus selalu di kursi itu?
Oke, jujur saja awalnya aku sempat
ada rasa GR, gede rasa. Aku sempat
berpikir bahwa laki-laki ini mungkin saja menyukaiku sejak pandangan pertama
dan bermaksud mencuri perhatianku. Tetapi, aku tahu alasannya bukan itu, dan
sepertinya ia juga sama sekali tidak tertarik padaku. Beberapa hari lalu, aku
pernah mencoba untuk duduk di kursi yang berbeda. Aku hanya ingin memastikan,
kalau ia benar sedang ingin mencuri perhatianku, tentu akan mengikutiku berpindah
tempat duduk. Namun, ia ternyata tak terpengaruh. Dengan adanya aku, atau tanpa
aku, ia tetap duduk di kursi itu. Kursi yang sama, yang ada di hadapanku ini.
Satu lagi. Selama ini ia juga tak
pernah terlihat sedang menatapku. Kalau ia memang tertarik padaku kan,
semestinya ia akan mencuri pandang beberapa kali. Tapi, selama ini, aku tak
pernah melihatnya melakukan kegiatan apapun selain membaca buku. Seakan seluruh
pikirannya hanya tercurah pada buku apapun yang sedang dibacanya.
Aku memilih duduk di kursi ini, di
paling sudut dalam perpustakaan dan dekat jendela, karena beberapa alasan. Aku
senang duduk di tempat paling ujung yang agak terpencil, karena terkesan
menyendiri. Dan aku memang senang sendiri, menikmati bacaanku sambil menikmati
angin malam yang menerpaku dari jendela. Iya, poin terakhir itu juga yang
membuatku memilih duduk di kursi ini, karena hanya di sini lah tempat strategis
yang juga dekat dengan jendela. Selain itu, aku bisa sesekali memandang ke
langit gelap, saat dimana ada bintang-bintang kecil yang bersinar cantik di
sana. Itu tak akan membuatku jenuh atau bosan. Menurutku, bintang hanya
terlihat indah saat di musim panas, itu kenapa musim ini selalu yang paling
kutunggu-tunggu setiap tahunnya. Dan, mungkin saja laki-laki ini juga beralasan
yang sama denganku, hingga selalu saja duduk di kursi yang sama.
Laki-laki yang tidak kuketahui
namanya ini, selalu serius saat membaca. Lihat saja, ia bahkan tak sadar bahwa
aku, perempuan yang duduk di hadapannya sedang menatapnya terang-terangan.
Seakan tak terganggu, atau bahkan mungkin sama sekali tak menyadari,
pandangannya tetap fokus pada sederet tulisan di bukunya.
Perlahan
ia membalik halaman buku itu, dan melanjutkan membaca, masih dengan tampang
yang serius. Saat sedang serius pun, wajahnya
tetap terlihat datar. Hanya pandangan matanya yang bisa membuatku menerka bahwa
ia sedang begitu fokus pada apa yang sedang dilakukannya.
==
Aku mendongakkan wajah, mengalihkan
perhatian dari buku di mejaku ke arah laki-laki yang kini sudah menarik kursi
di hadapanku. “Boleh aku duduk di sini?” tanya laki-laki itu. Sederet kalimat
yang sudah sangat kuhapal.
Aku mengangguk pelan. “Oh, nee
(oh, iya) .. silahkan.”
Tanpa
banyak bicara lagi, laki-laki itu duduk dan sedetik kemudian sudah tenggelam dalam
buku bacaannya. Aku menarik napas tanpa sadar, dan kembali menikmati wajah
tenang di hadapanku ini. Kali ini aku memberanikan diri memperhatikannya lebih
jelas, karena aku yakin, pergerakan seperti apapun yang kulakukan tak akan
mempengaruhinya. Seakan ia telah hanyut bersama bukunya.
Selain memiliki alis yang sangat
tebal, laki-laki ini punya mata yang besar. Untuk ukuran pria korea, ia
memiliki mata yang cantik dan indah, mata idaman semua orang korea yang
mayoritas memiliki mata kecil-sipit. Aku yakin, pusat ketampanannya itu
terletak di matanya, walau tak memungkiri, bagian-bagian wajahnya yang lain pun
sempurna tanpa cela. Hidungnya tinggi, dan garis-garis wajahnya begitu tegas
seakan ingin lebih memperjelas ketampanannya. Aku yakin, saat menciptakan
makhluk yang satu ini, pasti Tuhan sedang dalam mood yang sangat baik.
Omong-omong, belakangan ini aku baru
menyadari sesuatu. Aku selalu datang lebih cepat darinya, dan ia selalu pulang
lebih lama dariku. Terakhir kali, aku pulang jam 11 malam, dan ia masih saja
terlihat betah berkutat dengan bukunya. Aku tak tahu jam berapa sebenarnya ia
pulang, karena perpustakaan ini memang buka 24 jam. Sedangkan aku, selalu
datang jam 6 sore, tepat sepulang sekolah dan akan pulang biasanya jam 10 malam,
karena itu adalah batas jam malam yang bisa ditoleransi oleh orang tuaku. Pernah
sekali aku pulang jam 11 malam, karena mengerjakan tugas. Tapi, pulang selarut
itu sangat jarang terjadi.
==
Kali ini, malam ini, aku langsung
mendongak saat samar-samar aku merasa mendengar suara langkah kaki. Aneh,
langkah kaki itu sebenarnya sangat pelan dan tidak mengeluarkan bunyi, tapi
radar di telingaku langsung bisa menangkapnya, bahkan sebelum ia tiba di
dekatku.
Kedua kaki itu berhenti di dekat
mejaku, dan pemiliknya menarik kursi di hadapanku, seperti biasa. “Boleh aku
duduk di sini?” tanyanya, masih dengan ekspresi yang sama, dan nada suara yang
sama.
Dan aku, lagi-lagi memasang ekspresi
yang sama, menatapnya polos, dan mengangguk. “Nee.. silahkan,” jawabku pelan. Memangnya jawaban apa lagi yang
bisa kuucapkan selain dua kata itu?
Dan waktu pun berlangsung dengan
hening, dengan posisi yang selalu sama. Ia yang serius menekuni bukunya, dan
aku yang sesekali mencuri pandang ke arahnya dan menemukan hal-hal baru untuk kuperhatikan.
Laki-laki ini sangat tinggi.
Sebenarnya, aku sudah menyadarinya sejak awal, hanya saja aku tidak menyangka
ia setinggi itu. Saat tadi ia berdiri di pinggir meja, aku baru sadar tinggi
meja hanya sepinggangnya. Sedangkan aku? Tinggi meja itu tepat nyaris mendekati
dadaku, agak ke bawah sedikit. Kalau mengingat betapa pendeknya aku, itu sangat
menyebalkan. Aku mendengus kesal, tanpa kusadari, dan laki-laki itu
mendongakkan wajahnya menatapku.
Astaga, mungkin dengusanku terdengar
olehnya! Aku segera pura-pura membolik-balik halaman buku yang kupegang dan
memasang ekspresi seakan sedang membacanya dengan sangat serius, sambil sebelah
tanganku yang bebas menyisipkan rambut ikal kecokelatanku yang terjuntai di
pipi ke belakang telinga. Begitu kupastikan ia telah tenggelam lagi ke dalam
bukunya melalui sudut mata, aku mencoba mengangkat kepala. Dan ia memang sudah
tak lagi menatapku. Aku diam-diam menghela napas lega.
Ya ampun, lihat lah, dengan mata
besar dan indahnya yang tadi sempat menatapku, serta garis wajah yang
mempertegas kegagahannya, ditunjang dengan tubuhnya yang sangat tinggi dan
tegap, dan tentu saja cukup berotot membentuk tubuhnya, rasanya sebagai pria
idaman, laki-laki ini sudah sangat
memenuhi syarat.
==
Aku menghembuskan napas panjang dan
menggembungkan pipi saat membolak-balik buku tebal di hadapanku. Buku sejarah,
buku yang sebenarnya paling malas kubaca. Aku tidak suka mempelajari sejarah,
karena aku tak ahli menghapal setiap nama, tempat, kejadian, tanggal dan tahun
yang katanya penting itu.
Samar-samar aku merasa ada yang
mendorong pintu perpustakaan dengan sangat- hati-hati. Aku menduga sesuatu, dan
segera mendongakkan kepala. Astaga, aku nyaris memekik girang saat dugaanku
benar. Laki-laki itu yang datang, dan kini sedang menyusuri sebuah rak, mencari
sesuatu, yang tentunya adalah buku untuk dibaca malam ini.
Gila! Aku sekarang merasa
benar-benar yakin kalau aku telah diberikan kemampuan kepekaan lebih oleh
Tuhan. Laki-laki itu mendorong pintu tanpa bunyi sedikit pun, dan melangkah
dengan sangat pelan, tapi radar di telinga dan mataku sepertinya sudah terlalu
kuat bila menyangkut makhluk yang satu ini.
Setelah mendapatkan buku yang
mungkin dinginkan, laki-laki itu segera berjalan pelan menujuku. Bukan,
tepatnya menuju kursi yang sudah menjadi seperti singasana kebesarannya itu.
Iya, kursi yang ada di hadapanku. Tangannya yang kiri berayun menenteng sebuah
buku tebal, seiring dengan langkahnya.
Hari
ini ia mengenakan sebuah kemeja kotak-kotak warna biru, dengan dalaman kaos
tipis berwarna putih, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sepertinya ini
adalah style favoritnya di musim
panas. Dan ia tak pernah sekalipun mengancingkan kemejanya, membiarkan terbuka
begitu saja. Tapi, entah kenapa itu justru membuatku merasa tak akan lagi
menemukan laki-laki tampan selain ia.
Aduh,
aku tak tahu, deh! Sepertinya dunia sedang berkonspiransi untuk menjebakku
dalam pesonanya, dan menyukai segala tentangnya. Aku dibuat mabuk!!
“Boleh aku duduk di sini?” suara bassnya membuyarkan segala pikiranku,
dan aku segera mengangguk bersamaan dengan tangannya yang menarik keluar kursi
itu dari bawah meja.
“Nee…
silahkan.” Aku menggumam pelan,
lalu kemudian pura-pura sibuk dengan tugas sekolah.
Seperti biasa setelahnya waktu
berlangsung dengan sangat hening. Hei, kami sudah sering duduk semeja, dan itu
setiap hari, dalam beberapa minggu ini. Sudah sangat sering duduk bersama,
selalu berhadapan, tapi saling tak mengenal dan tak pernah bicara selain
mengucapkan satu ‘tanya’ dan satu ‘jawaban’ yang kami lakukan setiap ia akan
duduk, bukan kah itu agak terasa sedikit aneh dan canggung?
Apa selamanya kita hanya akan
sebatas ‘Boleh aku duduk di sini?’ dan
‘Nee.. silahkan’ ? keluhku dalam hati.
==
Aku mendorong pintu perpustakaan
dengan agak malas. Sekilas aku melihat ke langit yang sudah gelap. Tentu saja,
sekarang sudah jam 7 malam lewat. Gara-gara tugas sejarah yang tak bisa
kuselesaikan dengan baik, aku mendapat hukuman untuk menyelesaikannya dengan
bimbingan guruku. Lee Mi Seon-ssi, ibu
guru sejarahku, beliau benar-benar tak meluputkanku dari sorot mata tajamnya
saat mengawasiku mengerjakan tugas.
“Seo Hyunnie,”
panggil seorang gadis muda, yang lebih tua dua tahun dariku. Aku tersenyum ke
arahnya yang sedang duduk di depan sebuah komputer yang ada di dekat pintu
masuk. Ia adalah salah satu penjaga perpustakaan yang sudah kukenal baik.
Namanya, Han Hyun Mi.
“Ah..annyeong, Onnie.. (hai, kak),” sapaku seraya sedikit membungkukkan
badan sebelum akhirnya menghampirinya.
Hyun Mi onnie tersenyum padaku dan bertanya menggoda. “Tidak biasanya kau
baru datang jam segini, Hyunnie-ya.
Aku pikir kau tidak akan datang malam ini.”
Aku meringis, lalu nyengir. “Nee..onnie, ada banyak tugas di
sekolah. Jadi, pulangnya agak telat.”
Hyun Mi onnie menganggukkan kepala paham, dan aku segera pamit untuk pergi
ke kursi kesayanganku, di sudut perpus. Ah.. si laki-laki itu sudah ada di
sana, sedang menunduk serius membaca bukunya. Dengan langkah agak pelan, aku
berjalan ke arah meja itu, dan dengan sangat hati-hati aku menarik kursi yang
ada di hadapannya.
Mendengar suara kursi berderit,
laki-laki itu mendongak, dan langsung menatapku. Aku buru-buru nyengir, takut
ia merasa terganggu.
“A..
annyeong haseyo..” sapaku pelan, memasang senyum yang sepertinya lebih
terlihat seperti meringis.
“Tidak biasanya kau baru datang jam
segini?” Pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan Hyun Mi onnie, tapi tetap saja membuatku
membelalak kaget menatap laki-laki itu. Ia mengajakku bicara?? Apa aku tidak
salah dengar??
Sementara
ia mengangkat alisnya, bingung, dan sepertinya menunggu jawabanku. Aku sedikit
tergagap.
“Ah…ng..” Aku membuka, dan menutup
mulut berkali-kali tanpa kusadari sebelum akhirnya benar-benar bisa mengontrol
diri. Aku memukul pelan pahaku di balik meja, menyadarkan diri sendiri agar
fokus. “N-nee.. (i-iya), aku ada
tugas di sekolah. Jadi, baru pulang jam segini..”
Ia mengangguk-angguk pelan mendengar
jawabanku. “Han Seo Hyun..” gumamnya pelan membuatku kembali kaget dan tanpa
sadar membulatkan mata, menatapnya bingung. Ia menyebut namaku? Memanggilku?
Ia tersenyum. Dagunya mengendik
sedikit ke arah bajuku. Kuikuti arahnya, dan itu mengarah pada seragamku,
tepatnya di dada kananku. Kalau saja aku baru pertama kali mengenalnya, mungkin
aku akan mengira ia sedang berlaku tak senonoh. Tapi, aku tahu, yang ia maksud
adalah tag name ku yang terpasang di
sana. Han Seo Hyun.
Aku tersenyum, walau awalnya agak
kikuk. Ahh.. Seo Hyun pabbo (Ahh.. Seo Hyun bodoh), makiku pada
diri sendiri. Apa yang bisa kau lakukan
hanya senyum-senyum kikuk seperti orang bodoh, eo? gerutuku lagi pada
diriku sendiri.
Laki-laki itu tersenyum lagi, dan
menutup bukunya. Lalu ia mengulurkan tangan, yang sukses kembali membuatku
bengong, dengan mata membeliak. Astaga, malam ini, sebenarnya mau berapa kali
lagi ia membuatku terkejut, melakukan hal-hal yang di luar dugaanku? Kalau hal
ini terjadi terus berulang kali, rasanya jantungku tak akan terselamatkan, dan
mungkin malam ini malam terakhirku bernapas dengan baik.
Oke, aku berlebihan, aku tahu.
“Choi Minho imnida (nama saya Choi Minho),” ujarnya seraya tersenyum, senyuman
yang terlihat manis, karena senyum lebar pertama yang kulihat dibibirnya.
Oh, apa tadi katanya? Ia menyebutkan
nama? Choi Minho. Apa ini awal dari perkenalan kita? Menuju hubungan ke tingkat
yang lebih? Mungkin saja. Aku mengulurkan tangan, menyambutnya sambil
tersenyum. Kali ini aku cukup percaya diri.
“Han
Seo Hyun imnida, bangapseumnida (Nama
saya Han Seo Hyun, senang berkenalan denganmu).”
THE END
Lagi-lagi
laki-laki ini mengambil tempat duduk tepat di kursi yang ada di hadapanku.
Kenapa dari sekian banyak kursi kosong di perpustakaan ini, ia lebih memilih duduk
di kursi yang ada tepat di hadapanku sekarang ini?
Aku mengangkat sedikit buku yang
kubaca, menutupi wajahku, agar aku bisa mengintipnya dengan bebas tanpa
sepengetahuannya. Seperti biasa, ia tak banyak bicara. Ia datang ke kursi itu
dengan membawa sebuah buku tebal, lalu menarik kursi sambil bertanya padaku,
“Boleh aku duduk di sini?” dengan tanpa ekspresi.
Tentu
saja aku mengangguk dan mempersilahkannya, karena perpustakaan ini bahkan bukan
lah milik nenek moyangku yang bisa membuatku mempunyai hak untuk melarangnya.
Ia bebas duduk dimana pun yang ia suka. Hanya saja, satu pertanyaanku. Kenapa
harus selalu di kursi itu?
Oke, jujur saja awalnya aku sempat
ada rasa GR, gede rasa. Aku sempat
berpikir bahwa laki-laki ini mungkin saja menyukaiku sejak pandangan pertama
dan bermaksud mencuri perhatianku. Tetapi, aku tahu alasannya bukan itu, dan
sepertinya ia juga sama sekali tidak tertarik padaku. Beberapa hari lalu, aku
pernah mencoba untuk duduk di kursi yang berbeda. Aku hanya ingin memastikan,
kalau ia benar sedang ingin mencuri perhatianku, tentu akan mengikutiku berpindah
tempat duduk. Namun, ia ternyata tak terpengaruh. Dengan adanya aku, atau tanpa
aku, ia tetap duduk di kursi itu. Kursi yang sama, yang ada di hadapanku ini.
Satu lagi. Selama ini ia juga tak
pernah terlihat sedang menatapku. Kalau ia memang tertarik padaku kan,
semestinya ia akan mencuri pandang beberapa kali. Tapi, selama ini, aku tak
pernah melihatnya melakukan kegiatan apapun selain membaca buku. Seakan seluruh
pikirannya hanya tercurah pada buku apapun yang sedang dibacanya.
Aku memilih duduk di kursi ini, di
paling sudut dalam perpustakaan dan dekat jendela, karena beberapa alasan. Aku
senang duduk di tempat paling ujung yang agak terpencil, karena terkesan
menyendiri. Dan aku memang senang sendiri, menikmati bacaanku sambil menikmati
angin malam yang menerpaku dari jendela. Iya, poin terakhir itu juga yang
membuatku memilih duduk di kursi ini, karena hanya di sini lah tempat strategis
yang juga dekat dengan jendela. Selain itu, aku bisa sesekali memandang ke
langit gelap, saat dimana ada bintang-bintang kecil yang bersinar cantik di
sana. Itu tak akan membuatku jenuh atau bosan. Menurutku, bintang hanya
terlihat indah saat di musim panas, itu kenapa musim ini selalu yang paling
kutunggu-tunggu setiap tahunnya. Dan, mungkin saja laki-laki ini juga beralasan
yang sama denganku, hingga selalu saja duduk di kursi yang sama.
Laki-laki yang tidak kuketahui
namanya ini, selalu serius saat membaca. Lihat saja, ia bahkan tak sadar bahwa
aku, perempuan yang duduk di hadapannya sedang menatapnya terang-terangan.
Seakan tak terganggu, atau bahkan mungkin sama sekali tak menyadari,
pandangannya tetap fokus pada sederet tulisan di bukunya.
Perlahan
ia membalik halaman buku itu, dan melanjutkan membaca, masih dengan tampang
yang serius. Saat sedang serius pun, wajahnya
tetap terlihat datar. Hanya pandangan matanya yang bisa membuatku menerka bahwa
ia sedang begitu fokus pada apa yang sedang dilakukannya.
==
Aku mendongakkan wajah, mengalihkan
perhatian dari buku di mejaku ke arah laki-laki yang kini sudah menarik kursi
di hadapanku. “Boleh aku duduk di sini?” tanya laki-laki itu. Sederet kalimat
yang sudah sangat kuhapal.
Aku mengangguk pelan. “Oh, nee
(oh, iya) .. silahkan.”
Tanpa
banyak bicara lagi, laki-laki itu duduk dan sedetik kemudian sudah tenggelam dalam
buku bacaannya. Aku menarik napas tanpa sadar, dan kembali menikmati wajah
tenang di hadapanku ini. Kali ini aku memberanikan diri memperhatikannya lebih
jelas, karena aku yakin, pergerakan seperti apapun yang kulakukan tak akan
mempengaruhinya. Seakan ia telah hanyut bersama bukunya.
Selain memiliki alis yang sangat
tebal, laki-laki ini punya mata yang besar. Untuk ukuran pria korea, ia
memiliki mata yang cantik dan indah, mata idaman semua orang korea yang
mayoritas memiliki mata kecil-sipit. Aku yakin, pusat ketampanannya itu
terletak di matanya, walau tak memungkiri, bagian-bagian wajahnya yang lain pun
sempurna tanpa cela. Hidungnya tinggi, dan garis-garis wajahnya begitu tegas
seakan ingin lebih memperjelas ketampanannya. Aku yakin, saat menciptakan
makhluk yang satu ini, pasti Tuhan sedang dalam mood yang sangat baik.
Omong-omong, belakangan ini aku baru
menyadari sesuatu. Aku selalu datang lebih cepat darinya, dan ia selalu pulang
lebih lama dariku. Terakhir kali, aku pulang jam 11 malam, dan ia masih saja
terlihat betah berkutat dengan bukunya. Aku tak tahu jam berapa sebenarnya ia
pulang, karena perpustakaan ini memang buka 24 jam. Sedangkan aku, selalu
datang jam 6 sore, tepat sepulang sekolah dan akan pulang biasanya jam 10 malam,
karena itu adalah batas jam malam yang bisa ditoleransi oleh orang tuaku. Pernah
sekali aku pulang jam 11 malam, karena mengerjakan tugas. Tapi, pulang selarut
itu sangat jarang terjadi.
==
Kali ini, malam ini, aku langsung
mendongak saat samar-samar aku merasa mendengar suara langkah kaki. Aneh,
langkah kaki itu sebenarnya sangat pelan dan tidak mengeluarkan bunyi, tapi
radar di telingaku langsung bisa menangkapnya, bahkan sebelum ia tiba di
dekatku.
Kedua kaki itu berhenti di dekat
mejaku, dan pemiliknya menarik kursi di hadapanku, seperti biasa. “Boleh aku
duduk di sini?” tanyanya, masih dengan ekspresi yang sama, dan nada suara yang
sama.
Dan aku, lagi-lagi memasang ekspresi
yang sama, menatapnya polos, dan mengangguk. “Nee.. silahkan,” jawabku pelan. Memangnya jawaban apa lagi yang
bisa kuucapkan selain dua kata itu?
Dan waktu pun berlangsung dengan
hening, dengan posisi yang selalu sama. Ia yang serius menekuni bukunya, dan
aku yang sesekali mencuri pandang ke arahnya dan menemukan hal-hal baru untuk kuperhatikan.
Laki-laki ini sangat tinggi.
Sebenarnya, aku sudah menyadarinya sejak awal, hanya saja aku tidak menyangka
ia setinggi itu. Saat tadi ia berdiri di pinggir meja, aku baru sadar tinggi
meja hanya sepinggangnya. Sedangkan aku? Tinggi meja itu tepat nyaris mendekati
dadaku, agak ke bawah sedikit. Kalau mengingat betapa pendeknya aku, itu sangat
menyebalkan. Aku mendengus kesal, tanpa kusadari, dan laki-laki itu
mendongakkan wajahnya menatapku.
Astaga, mungkin dengusanku terdengar
olehnya! Aku segera pura-pura membolik-balik halaman buku yang kupegang dan
memasang ekspresi seakan sedang membacanya dengan sangat serius, sambil sebelah
tanganku yang bebas menyisipkan rambut ikal kecokelatanku yang terjuntai di
pipi ke belakang telinga. Begitu kupastikan ia telah tenggelam lagi ke dalam
bukunya melalui sudut mata, aku mencoba mengangkat kepala. Dan ia memang sudah
tak lagi menatapku. Aku diam-diam menghela napas lega.
Ya ampun, lihat lah, dengan mata
besar dan indahnya yang tadi sempat menatapku, serta garis wajah yang
mempertegas kegagahannya, ditunjang dengan tubuhnya yang sangat tinggi dan
tegap, dan tentu saja cukup berotot membentuk tubuhnya, rasanya sebagai pria
idaman, laki-laki ini sudah sangat
memenuhi syarat.
==
Aku menghembuskan napas panjang dan
menggembungkan pipi saat membolak-balik buku tebal di hadapanku. Buku sejarah,
buku yang sebenarnya paling malas kubaca. Aku tidak suka mempelajari sejarah,
karena aku tak ahli menghapal setiap nama, tempat, kejadian, tanggal dan tahun
yang katanya penting itu.
Samar-samar aku merasa ada yang
mendorong pintu perpustakaan dengan sangat- hati-hati. Aku menduga sesuatu, dan
segera mendongakkan kepala. Astaga, aku nyaris memekik girang saat dugaanku
benar. Laki-laki itu yang datang, dan kini sedang menyusuri sebuah rak, mencari
sesuatu, yang tentunya adalah buku untuk dibaca malam ini.
Gila! Aku sekarang merasa
benar-benar yakin kalau aku telah diberikan kemampuan kepekaan lebih oleh
Tuhan. Laki-laki itu mendorong pintu tanpa bunyi sedikit pun, dan melangkah
dengan sangat pelan, tapi radar di telinga dan mataku sepertinya sudah terlalu
kuat bila menyangkut makhluk yang satu ini.
Setelah mendapatkan buku yang
mungkin dinginkan, laki-laki itu segera berjalan pelan menujuku. Bukan,
tepatnya menuju kursi yang sudah menjadi seperti singasana kebesarannya itu.
Iya, kursi yang ada di hadapanku. Tangannya yang kiri berayun menenteng sebuah
buku tebal, seiring dengan langkahnya.
Hari
ini ia mengenakan sebuah kemeja kotak-kotak warna biru, dengan dalaman kaos
tipis berwarna putih, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sepertinya ini
adalah style favoritnya di musim
panas. Dan ia tak pernah sekalipun mengancingkan kemejanya, membiarkan terbuka
begitu saja. Tapi, entah kenapa itu justru membuatku merasa tak akan lagi
menemukan laki-laki tampan selain ia.
Aduh,
aku tak tahu, deh! Sepertinya dunia sedang berkonspiransi untuk menjebakku
dalam pesonanya, dan menyukai segala tentangnya. Aku dibuat mabuk!!
“Boleh aku duduk di sini?” suara bassnya membuyarkan segala pikiranku,
dan aku segera mengangguk bersamaan dengan tangannya yang menarik keluar kursi
itu dari bawah meja.
“Nee…
silahkan.” Aku menggumam pelan,
lalu kemudian pura-pura sibuk dengan tugas sekolah.
Seperti biasa setelahnya waktu
berlangsung dengan sangat hening. Hei, kami sudah sering duduk semeja, dan itu
setiap hari, dalam beberapa minggu ini. Sudah sangat sering duduk bersama,
selalu berhadapan, tapi saling tak mengenal dan tak pernah bicara selain
mengucapkan satu ‘tanya’ dan satu ‘jawaban’ yang kami lakukan setiap ia akan
duduk, bukan kah itu agak terasa sedikit aneh dan canggung?
Apa selamanya kita hanya akan
sebatas ‘Boleh aku duduk di sini?’ dan
‘Nee.. silahkan’ ? keluhku dalam hati.
==
Aku mendorong pintu perpustakaan
dengan agak malas. Sekilas aku melihat ke langit yang sudah gelap. Tentu saja,
sekarang sudah jam 7 malam lewat. Gara-gara tugas sejarah yang tak bisa
kuselesaikan dengan baik, aku mendapat hukuman untuk menyelesaikannya dengan
bimbingan guruku. Lee Mi Seon-ssi, ibu
guru sejarahku, beliau benar-benar tak meluputkanku dari sorot mata tajamnya
saat mengawasiku mengerjakan tugas.
“Seo Hyunnie,”
panggil seorang gadis muda, yang lebih tua dua tahun dariku. Aku tersenyum ke
arahnya yang sedang duduk di depan sebuah komputer yang ada di dekat pintu
masuk. Ia adalah salah satu penjaga perpustakaan yang sudah kukenal baik.
Namanya, Han Hyun Mi.
“Ah..annyeong, Onnie.. (hai, kak),” sapaku seraya sedikit membungkukkan
badan sebelum akhirnya menghampirinya.
Hyun Mi onnie tersenyum padaku dan bertanya menggoda. “Tidak biasanya kau
baru datang jam segini, Hyunnie-ya.
Aku pikir kau tidak akan datang malam ini.”
Aku meringis, lalu nyengir. “Nee..onnie, ada banyak tugas di
sekolah. Jadi, pulangnya agak telat.”
Hyun Mi onnie menganggukkan kepala paham, dan aku segera pamit untuk pergi
ke kursi kesayanganku, di sudut perpus. Ah.. si laki-laki itu sudah ada di
sana, sedang menunduk serius membaca bukunya. Dengan langkah agak pelan, aku
berjalan ke arah meja itu, dan dengan sangat hati-hati aku menarik kursi yang
ada di hadapannya.
Mendengar suara kursi berderit,
laki-laki itu mendongak, dan langsung menatapku. Aku buru-buru nyengir, takut
ia merasa terganggu.
“A..
annyeong haseyo..” sapaku pelan, memasang senyum yang sepertinya lebih
terlihat seperti meringis.
“Tidak biasanya kau baru datang jam
segini?” Pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan Hyun Mi onnie, tapi tetap saja membuatku
membelalak kaget menatap laki-laki itu. Ia mengajakku bicara?? Apa aku tidak
salah dengar??
Sementara
ia mengangkat alisnya, bingung, dan sepertinya menunggu jawabanku. Aku sedikit
tergagap.
“Ah…ng..” Aku membuka, dan menutup
mulut berkali-kali tanpa kusadari sebelum akhirnya benar-benar bisa mengontrol
diri. Aku memukul pelan pahaku di balik meja, menyadarkan diri sendiri agar
fokus. “N-nee.. (i-iya), aku ada
tugas di sekolah. Jadi, baru pulang jam segini..”
Ia mengangguk-angguk pelan mendengar
jawabanku. “Han Seo Hyun..” gumamnya pelan membuatku kembali kaget dan tanpa
sadar membulatkan mata, menatapnya bingung. Ia menyebut namaku? Memanggilku?
Ia tersenyum. Dagunya mengendik
sedikit ke arah bajuku. Kuikuti arahnya, dan itu mengarah pada seragamku,
tepatnya di dada kananku. Kalau saja aku baru pertama kali mengenalnya, mungkin
aku akan mengira ia sedang berlaku tak senonoh. Tapi, aku tahu, yang ia maksud
adalah tag name ku yang terpasang di
sana. Han Seo Hyun.
Aku tersenyum, walau awalnya agak
kikuk. Ahh.. Seo Hyun pabbo (Ahh.. Seo Hyun bodoh), makiku pada
diri sendiri. Apa yang bisa kau lakukan
hanya senyum-senyum kikuk seperti orang bodoh, eo? gerutuku lagi pada
diriku sendiri.
Laki-laki itu tersenyum lagi, dan
menutup bukunya. Lalu ia mengulurkan tangan, yang sukses kembali membuatku
bengong, dengan mata membeliak. Astaga, malam ini, sebenarnya mau berapa kali
lagi ia membuatku terkejut, melakukan hal-hal yang di luar dugaanku? Kalau hal
ini terjadi terus berulang kali, rasanya jantungku tak akan terselamatkan, dan
mungkin malam ini malam terakhirku bernapas dengan baik.
Oke, aku berlebihan, aku tahu.
“Choi Minho imnida (nama saya Choi Minho),” ujarnya seraya tersenyum, senyuman
yang terlihat manis, karena senyum lebar pertama yang kulihat dibibirnya.
Oh, apa tadi katanya? Ia menyebutkan
nama? Choi Minho. Apa ini awal dari perkenalan kita? Menuju hubungan ke tingkat
yang lebih? Mungkin saja. Aku mengulurkan tangan, menyambutnya sambil
tersenyum. Kali ini aku cukup percaya diri.
“Han
Seo Hyun imnida, bangapseumnida (Nama
saya Han Seo Hyun, senang berkenalan denganmu).”
THE END